Belakangan ini, viral berita mengenai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUP dr. Hasan Sadikin (RSHS). Belum selesai kasus tersebut, mencuat kembali kabar pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG) kepada pasien yang sedang melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Dikhianati di meja periksa, itulah ungkapan yang tepat menggambarkan kejadian mengerikan tersebut. Tidak hanya mencelakai kepercayaan pasien, tetapi juga meninggalkan bekas luka yang mendalam, yang tak terlihat meski dapat dirasakan. Berbicara tentang dampak, bagaimana potret luka psikologis yang dialami korban menurut lensa psikologi? Mari kita bahas!
Luka. Sering kali kita mendengar kata ini dalam konteks luka fisik. Terlihat merah, terasa nyeri, dan sulit untuk disembuhkan. Lain luka fisik, lain pula dengan luka psikologis. Luka psikologis memengaruhi seluruh aspek kehidupan dan bisa menjadi dampak ke orang lain. Korban pelecehan seksual, tentunya menyimpan luka yang amat dalam. Perasaan sedih, marah, dan kecewa bercampur aduk menjadi satu. Studi yang dilakukan oleh Schou-Bredal et al. (2020) menemukan bahwa individu yang mengalami pelecehan seksual cenderung memiliki gejala depresi, gangguan tidur, dan PTSD. Selain itu, dilaporkan para korban juga mengalami permasalahan fisik berupa chronic pain dan gangguan muskuloskeletal.
Dalam konteks yang terjadi belakangan ini, kita dapat melihat kemungkinan adanya penurunan kepercayaan masyarakat kepada profesi dokter. Hal ini tak dapat dipungkiri, terutama ketika muncul kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum tenaga medis di ruang praktik yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan penindasan. Ketika individu menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, dampaknya tak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga mencoreng reputasi seluruh profesi. Masyarakat pun menjadi waspada, bahkan takut untuk kembali mencari pertolongan medis atau psikologis karena luka kepercayaan jauh lebih sulit disembuhkan dibanding luka fisik.
Artinya, rasa takut dan khawatir akan memenuhi seluruh kehidupan para korban, menciptakan rasa yang tidak aman dan nyaman untuk kembali bertemu dokter. Dalam studi meta analisis yang dilakukan oleh Dworkin et al. (2021) menemukan bahwa PTSD menjadi gangguan yang paling sering dilaporkan oleh para korban pelecehan seksual. Tentunya, permasalahan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pendampingan saja tidaklah cukup karena permasalahan ini memiliki dampak yang luar biasa dan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tahap penerimaan.
Menghukum para pelaku tak menjamin dapat menyembuhkan luka korban. Mendampingi korban juga bukanlah suatu penyelesaian. Maka, hal terbaik adalah memastikan bahwa pelecehan seksual tidak terjadi lagi di mana pun, terlebih di ruang yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan profesional. Pencegahan harus menjadi prioritas, bukan sekadar reaksi setelah kasus terjadi. Ini berarti membangun sistem yang transparan, mengedukasi tenaga profesional tentang etika dan batasan, serta menciptakan ruang di mana suara korban benar-benar didengar dan dilindungi.
Saat Luka Tak Terlihat, Cerita Bisa Jadi Awal Pemulihan
Jika kamu atau orang di sekitarmu pernah mengalami kekerasan atau pelecehan dan merasa sulit untuk bicara, Komunitas Berbagi Cerita Indonesia siap menjadi ruang aman untukmu. Melalui layanan konseling daring yang hangat, empatik, dan rahasia, kamu bisa mulai bercerita tanpa takut dihakimi. Tim peer counselor dan psikolog kami akan mendampingimu menemukan jalan menuju pemulihan dengan cara yang nyaman dan sesuai kebutuhanmu.
Referensi
- Dworkin, E. R., Jaffe, A. E., Bedard-Gilligan, M., & Fitzpatrick, S. (2021). PTSD in the Year Following Sexual Assault: A Meta-Analysis of Prospective Studies. Trauma Violence & Abuse, 24(2), 497–514. https://doi.org/10.1177/15248380211032213Schou-Bredal, I., Bonsaksen,
- T., Ekeberg, Ø., Skogstad, L., Grimholt, T. K., Lerdal, A., & Heir, T. (2020). Sexual assault and the association with Health, quality of life, and Self-Efficacy in the general Norwegian population. Journal of Interpersonal Violence, 37(3–4), 1878–1901. https://doi.org/10.1177/0886260520926307
Ditulis Oleh: Bagas Rahmatullah, S.Psi; Ditinjau Oleh: Muhamad Azis Darmawan, S. Psi; Di Edit Oleh: Najwa Ajrina Sabila Zain



