“Laki-laki tidak bercerita, tapi dia mikirin semuanya sendirian”
Mungkin, kamu sudah cukup sering melihat atau mendengar kalimat ini di media sosial. Di TikTok atau Instagram, tren ini cepat sekali menyebar. Dari video laki-laki termenung, sampai narasi puitis soal luka yang dipendam diam-diam. Banyak yang menganggap ini keren, simbol ketegaran pria. Tetapi… benarkah diam selalu jadi pilihan terbaik?
Ketika Diam Jadi Beban yang Berat
Fenomena “laki-laki tidak bercerita” awalnya memang terlihat puitis. Tetapi, tanpa sadar, tren ini justru memperkuat anggapan lama: pria harus kuat, tidak boleh menangis, dan jangan banyak bercerita. Sayangnya, hal ini justru bisa memperparah tekanan mental.
Data dari WHO (2021) menyebutkan bahwa satu dari 100 kematian disebabkan oleh bunuh diri. Pria punya tingkat kematian lebih tinggi akibat bunuh diri dibanding perempuan, terutama di negara berpenghasilan tinggi. Perbedaan ini bukanlah hal sepele, melainkan masalah yang benar-benar serius.
Kenapa Laki-laki Perlu Bercerita?
Sudah waktunya kita berhenti menganggap diam sebagai tanda kekuatan. Nyatanya, emosi itu sinyal yang penting. Jika emosi ditekan secara terus-menerus, timbullah stres, kecemasan, bahkan depresi.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa norma maskulinitas tradisional, seperti harus mandiri dan tidak boleh menunjukkan emosi, bisa menjadi penghalang utama bagi pria dalam mencari bantuan saat sedang tertekan secara mental (Kim & Yu, 2023).
Kabar baiknya, bercerita itu bisa menjadi titik awal untuk pulih. Dengan bercerita. kita bisa lebih mengenal diri sendiri. Hubungan dengan orang lain juga jadi lebih sehat. Bahkan, ada banyak pendekatan yang dirancang sesuai karakter pria, seperti terapi kelompok, aktivitas fisik bersama, sampai program berbasis komunitas. Ini semua terbukti efektif membantu meningkatkan kesejahteraan mental pria (Kim & Yu, 2023).
Waktunya Ubah Cara Pandang
Tren “laki-laki tidak bercerita” seharusnya bukan dirayakan, tetapi dipahami sebagai alarm. Kita sedang berhadapan dengan konstruksi sosial yang bikin pria enggan bicara. Banyak dari mereka tumbuh dengan tuntutan untuk selalu kuat dan diam, dan ini bahaya.
Studi menunjukkan bahwa konstruksi sosial seperti dominasi dan pengekangan emosi bisa membuat laki-laki semakin jauh dari perilaku sehat. Mereka menjadi enggan mencari bantuan dan malah memilih cara yang tidak sehat untuk menghadapi tekanan (Harianti, 2023).
Namun, kabar baiknya, ini bisa diubah. Kita bisa mulai dengan mendefinisikan ulang arti “kuat”. Kuat itu bukan soal menahan semuanya sendiri, tetapi berani terbuka, berani jujur sama diri sendiri, dan tahu kapan butuh bantuan.
Butuh Ruang Aman untuk Bercerita?
Kalau kamu merasa sedang menahan terlalu banyak hal sendirian, Berbagi Cerita Indonesia hadir sebagai ruang aman untukmu. Melalui layanan konseling daring bersama peer counselor dan psikolog profesional, kamu bisa bercerita tanpa takut dihakimi. Semua cerita akan dijaga dengan penuh empati dan kerahasiaan.
Refrensi
- Harianti, W. S. (2023). Social Construct of Masculinity towards Mental Health: A Literature review. European Journal of Behavioral Sciences, 6(3), 69–83. https://doi.org/10.33422/ejbs.v6i3.1103
- Kim, S., & Yu, S. (2023). Men’s mental health and interventions tailored to masculinity: a scoping review. Journal of Men S Health. https://doi.org/10.22514/jomh.2023.111
- World Health Organization: WHO. (2021, June 17). One in 100 deaths is by suicide. WHO. https://www.who.int/news/item/17-06-2021-one-in-100-deaths-is-by-suicide
Ditulis oleh: Fadlia Okta; Ditinjau oleh: Susan Claudia, S.Psi.; Diedit oleh: Najwa Ajrina Sabila Zain, S.S.



