Kalian pasti masih ingat, beberapa waktu lalu terjadi tragedi Kanjuruhan yang memakan banyak korban jiwa. Sebagian besar masyarakat mulai menuding polisi adalah penyebab kejadian ini menyusul dengan munculnya satu persatu bukti. Lantas masyarakat juga mulai memberikan label bahwa polisi itu jahat dan mempertanyakan “apakah mereka tidak mengetahui jika tindakan mereka salah?”. Disisi lain, pernahkah kita berpikir bahwa mungkin beberapa atau keseluruhan dari polisi itu baik pada awalnya, namun karena situasi dan peran yang mereka jalankan akhirnya mengubah mereka menjadi sosok jahat setidaknya di mata masyarakat. Ada satu fenomena dalam psikologi yang dpaat menjelaskan hal itu, yaitu Lucifer Effect.
Apa itu Lucifer Effect?
Lucifer Effect adalah proses perubahan individu yang awalnya baik atau biasa saja menjadi individu yang mampu melakukan hal-hal buruk atau jahat di luar kebiasaannya. Perilaku jahat yang dilakukan termasuk merugikan, menyalahgunakan, merendahkan, tidak manusiawi, menghancurkan orang lain yang tidak bersalah atau menggunakan otoritas dan kekuatan orang lain untuk membalaskan dendam.
Menurut Zimbardo (2008), pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat dan kepribadian yang berubah-ubah dan didalamnya terdapat sisi jahat yang akan muncul tergantung pada keadaan yang mempengaruhi.
Mengapa disebut ‘Lucifer’?
Seperti yang kita ketahui, Lucifer menurut cerita yang berkembang adalah salah satu malaikat yang paling disenangi Tuhan sampai kemudian ia membangkang dan berubah menjadi ‘Setan’ yang dilemparkan ke neraka.
Setan sendiri digambarkan sebagai sosok yang jahat dengan perilaku seperti keserakahan, iri hati, nafsu dan kemarahan. Sehingga Lucifer ini sebagai penggambaran transformasi dari sosok malaikat yang baik menjadi setan yang jahat.
Awal Mula
Istilah ini diciptakan oleh Philip Zimbardo setelah kegagalan Stanford Prison Experiment pada 1971. Secara singkat, eksperimen itu mencoba untuk meneliti perilaku orang-orang yang berada dalam penjara, sehingga Zimbardo menciptakan roleplay kehidupan penjara, dimana terdapat total 24 relawan yang dibagi ke dalam 2 peran yaitu tahanan dan penjaga.
Pada eksperimen itu, penjaga diberikan hak untuk melakukan tindakan yang biasa dilakukan penjaga kepada tahanan asli untuk menanamkan kepatuhan. Namun, baik tahanan dan penjaga dalam eksperimen ini dengan cepat menginternalisasi perilaku asli dari tahanan dan penjaga sesuai dengan peran yang dimainkan. Pada akhirnya, eksperimen ini terpaksa diberhentikan setelah 6 hari karena perilaku ‘penjaga’ yang mulai melewati batas dengan melakukan penyiksaan dan tahanan yang mulai tertekan.
Melalui eksperimen tersebut ditemukan bahwa orang baik sekalipun, ketika dihadapkan pada situasi atau lingkungan yang mendorong mereka untuk melakukan agresi, maka akan memunculkan tindakan kejahatan.
Lucifer Effect dalam Perspektif Psikologi
Menurut psikologi, Lucifer Effect berkaitan dengan deindividuasi dimana individu akan kehilangan kesadaran dan identitas dirinya ketika berada dalam suatu kelompok yang memungkinkan dirinya untuk menjadi anonim. Dalam kondisi yang membuat kita merasa anonim, ketika kita berpikir bahwa orang lain tidak mengenal kita atau tidak peduli, dapat menumbuhkan perilaku antisosial dan mementingkan diri sendiri. Menurut penelitian Zimbardo pula, orang yang “dideindividuasi” lebih mudah menimbulkan rasa sakit pada orang lain dari pada secara individual.
Lingkungan dan peran sosial yang dimainkan juga berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Dalam hal ini baik penjaga maupun tahanan diberikan identitas maupun atribut baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya sehingga mereka akan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peran sosialnya. Hal itu tentu mengubah secara drastis semua karakteristik dan persepsi yang mereka miliki sebelumnya.
Penjelasan terkait Lucifer Effect ini didasarkan pula pada teori konformitas Solomon Asch dimana orang yang baik dan bermaksud baik dapat berperilaku tidak seperti biasanya ketika ditempatkan di lingkungan yang tidak biasa atau penuh tekanan. Tujuannya adalah agar individu mampu diterima oleh suatu kelompok yang mana itu juga merupakan salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi.
Bentuk tekanan yang dialami salah satunya dijelaskan oleh teori kepatuhan pada otoritas oleh Stanley Milgram dimana suatu kelompok yang secara kedudukan lebih rendah dapat melakukan kekerasan karena perintah dari individu atau kelompok dengan kedudukan lebih tinggi.
Pada saat yang sama, terjadi disonansi kognitif karena keyakinan dan perilaku yang dimunculkan berbeda. Hal itu akan menyebabkan rasa tidak nyaman, sehingga seseorang akan berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tindakan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, Zimbardo juga memberikan contoh disonansi kognitif terkait apa yang akan dilakukan oleh tentara ketika mereka harus menyakiti orang lain, yaitu dengan alasan hidupnya terancam, tindakannya adalah bagian dari pekerjaan sebagai tentara, dirinya hanya diperintahkan oleh atasan, atau akan diberi banyak hadiah jika melakukan hal tersebut. Akhirnya, motivasi untuk melakukan tindakan kejahatan itu akan terus muncul jika dirinya tidak memiliki kesadaran penuh untuk menghentikan.
Implikasi
Lucifer Effect ini di masa modern ini dapat menjelaskan beberapa peristiwa diantaranya perpeloncoan, senioritas, tindakan rasisme, eksploitasi pekerja, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Selain itu, fenomena ini dapat menjelaskan mengapa orang yang dulunya aktivis mahasiswa yang paling menentang korupsi, ketika menjadi pejabat justru juga melakukan korupsi. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa Lucifer Effect menekankan pada situasi dan peran yang dapat mengubah perilaku yang awalnya baik menjadi jahat.
Referensi:
>O’Connor, A. (2017). An Analysis of Philip Zimbardo’s The Lucifer Effect : Understanding how good people turn evil. Macat Library, 102. doi: https:10.4324/9781912282579
>Zimbardo, P. G. (2008). The Lucifer effect: Understanding how good people turn evil. Random House Trade Paperbacks.
>Picinin, C. T., Pinto, G. M. C., Bacovis, J. M. F., Klafke, R. V., Pedroso, B. (2021). The “Lucifer Effect” and “The Established and Outsiders”: Different power practices or facets of the same contract?. Brazilian Applied Science Review. 5(1), 202-225. doi: 10.34115/basrv5n1-013